Dalam setahun terakhir, dua klub profesional Italia dinyatakan bangkrut dan terpaksa turun ke divisi bawah. Siena, berdiri pada 1904, anjlok ke Serie D dan Padova, dibentuk pada 1910, dicampakkan ke Liga Amatir.
Yang terbaru, Parma -- klub lumayan termasyur di Italia -- terancam bangkrut untuk kedua kalinya. Senin lalu (23/2), peralatan medis, kendaraan dinas staf medis, dan perlengkapan kebugaran Parma senilai 500 ribu euro terpaksa disita lantaran tunggakan macet.
Kapten Alessandro Lucarelli mengatakan ada kesalahan manajemen dalam krisis ini. Seperti diungkapkan kepada pers Italia, pemain berusia 37 itu dan rekan-rekan setim heran mengapa Parma mampu membeli pemain baru di musim panas lalu. Padahal selama 8 bulan terakhir, Lucarelli dan kompatriotnya tak menerima gaji. Sebagai informasi, Parma punya total 226 pemain -- sebagian besar sedang dipinjamkan ke klub lain.
Saat diwawancarai La Gazzetta dello Sport, pemain kelahiran Livorno itu menunjuk perubahan tiga pemilik Parma dalam dua tahun terakhir sebagai biang kekacauan keuangan klub. Lucarelli juga mengecam federasi sepak bola Italia (FIGC) yang dinilai abai pada kondisi Parma sejak musim panas 2014.
Logis bila Lucarelli geram pada FIGC dan Lega Calcio (pengelola Serie A). Di Italia, setiap klub wajib membuktikan stabilitas keuangannya sesaat sebelum kompetisi digelar. Lalu mengapa Parma yang terakhir kali menggaji skuatnya pada Juli 2014 justru bisa dapat lampu hijau ikut kompetisi Serie A 2014-2015?
FIGC dan Lega Calcio jelas salah dalam kasus ini. Padahal mereka seharusnya tak abai pada sinyal UEFA. Konfederasi sepak bola Eropa itu mencabut izin Parma untuk tampil Europa League musim ini lantaran masih menunggak gaji dan pajak – sebuah keputusan yang membuat Parma kehilangan proyeksi keuntungan moderat 32 juta euro.
Tapi apa boleh buat, aturan mainnya memang begitu. Dalam kasta berbeda, anomali verifikasi FIGC dan Lega Calcio juga dilakukan pengelola Liga Super Indonesia (ISL). Tapi yang menarik sebenarnya opini Ornella Bellia, wanita ahli hukum olahraga asal Italia. Dalam wawancara denganItasportpress, Senin lalu, Bellia menyebut penyebab utama dalam kasus Parma adalah kesalahan manajerial.
Bellia merujuk "kebiasaan" manajemen klub Italia yang menghabiskan 60-80% keuntungan untuk membiayai gaji skuat. Bahkan sebagian kecil klub punya anggaran gaji lebih besar dari pemasukan. Besar pasak dari pada tiang. Sementara analis Sky Sport Italia menunjuk kebijakan nyeleneh “Plusvalenza” (beli pemain murah dengan harapan bisa dijual mahal) yang lazim dipraktekkan mayoritas klub Italia.
Kesalahan manajerial memang beragam bentuknya. Di Indonesia, justru lebih runyam lagi. Wajah bopeng klub-klub Indonesia mulai terkuak ketika Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) melansir masalah pajak, keuangan, dan administrasi. Sebagian orang mengecam tindakan BOPI bersifat politis, termasuk menggantung izin pelaksanaan ISL 2015.
Padahal menurut Pasal 37 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007, BOPI memang berwenang sebagai kepanjangan tangan pemerintah (Menpora). Urusan mengapa BOPI tak pernah kelihatan mempermasalahkan klub profesional lain, katakanlah klub sepeda balap atau voli, itu soal lain. Itu soal kinerja – andai dalih “mereka tak pernah mempermasalahkan klub pro lain” itu memang benar adanya.
Masalahnya, tindakan BOPI sebenarnya layak dan patut menjadi wewenang PT Liga selaku pengelola ISL. Semua pengelola liga pro di dunia melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh BOPI. Itu yang dinamakan good governance. Mengapa sejak dulu PT Liga tak pernah mewajibkan klub punya NPWP? Mengapa PT Liga tak pernah menegaskan aturan main pemegang saham, tata kelola keuangan, dan sebagainya. Situasi runyam makin lengkap ketika klub pun tidak berinisiatif untuk benar-benar profesional.
Sebagian orang mungkin tidak menyadari. Di balik klub profesional selalu ada PT. Nama klub hanyalah jenama (brand) PT tersebut. Bila berbentuk PT maka dia harus punya izin usaha dan punya NPWP beserta laporan pajaknya. Menurut data verifikasi BOPI, yang dikutip CNN Indonesia (25/2), seluruh klub ISL 2015 belum menunjukkan bukti laporan pajak – satu dari enam syarat verifikasi.
Ironisnya, Arema Cronus dan beberapa klub lain justru mengecam BOPI. Tak perlu diragukan, mengurus klub memang sulit – apalagi di Indonesia yang belum jelas iklim industrinya. Tapi sebatas punya administrasi rapi dan selalu menyerahkan laporan pajak (baik untung maupun rugi) semestinya bukan hal sulit. Apalagi, klub menjual tiket dan merchandise disertai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Demikian pula pajak upah seluruh personel klub. Itu semua urusan lazim perusahaan.
Memang repot jika profesional hanya sebatas jargon. Kesalahan tata kelola Parma yang menunggak gaji juga dilakukan klub-klub Indonesia. Masih berutang, tapi bisa belanja (dalam jumlah besar). Dalam sebuah kegiatan usaha, utang memang bukan barang haram. Tapi lain stratanya bila utang gaji. Dalam ranah profesional, bayaran (gaji) adalah syarat utama. Terminologi “profesional” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengharuskan keahlian profesi dan bayaran bagi pelakunya (untuk membedakannya dengan amatir).
Ketika pemain belakang Munhar menyebar masalah piutang gajinya dari bekas klub, Arema, maka itu haknya. Mengaitkannya dengan performa buruk yang hanya sekali main di musim lalu seperti diutarakan CEO Arema Iwan Budianto, melalui Merdeka.com (19/2), justru kontraproduktif. Utang gaji satu hal, sementara urusan performa soal lain lagi. Beda urusannya bila klausul itu memang tercantum dalam kontrak antara klub dan pemain.
Profesional juga tidak hanya dilihat dari berapa banyak brand di jersey skuat. Persib Bandung yang punya NPWP dan sudah menyiapkan laporan pajaknya, misalnya. Sulit mengatakan bahwa sang juara ISL 2014 ini profesional bila mereka masih bisa keliru memasang foto ID Card pemainnya sehingga yang bersangkutan dilarang tampil di partai playoff Liga Champions Asia lalu. Malangnya, sang pemain adalah andalan strategi yang sudah dilatih dan dirancang.
Itulah bukti lain bahwa klub Indonesia belum profesional lantaran mengerjakan hal sepele memasang foto pemain seperti itu saja masih di sepelekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar